Rabu, 08 Desember 2010

Clubbing

Clubbing merupakan istilah prokem khas anak muda yang berarti suatu dunia malam yang bernuansa kebebasan, ekspresif, modern, teknologis, hedonis, konsumeristik dan metropolis yang menjanjikan segala bentuk kegembiraan sasaat (Perdana, 2004). Melalui clubbing khususnya anak muda merasa menemukan jati diri, disana mereka bisa “berjingkrak-jingkrak” sebebasnya, meneguk alkohol dan narkoba, cekikikan sampai pagi, lalu pulang dalam keadaan teler dan capai. Melalui clubbing mereka bisa menemukan komunitas bergaulnya. Singkatnya clubbing adalah just having fun, sekedar hura-hura dan membutuhkan banyak uang.

Clubbing sudah sangat identik dengan kehidupan masyarakat metropolitan. Tidak hanya menjadi bagian dari gaya hidup, tapi juga menjadi sarana bersosialisasi, bahkan melakukan lobi bisnis. Dulu clubbing selalu diasosiasikan dengan musik menghentak yang dapat membuat orang larut dalam suasana. Seiring perkembangan zaman, clubbing mengalami banyak pergeseran karena tidak semua orang suka musik semacam itu. Pada hakikatnya suasana yang hingar bingar bukan lagi daya tarik utama. Banyak tempat hiburan di Jakarta meninggalkan konsep diskotek dan beralih pada konsep Resto and lounge yang ternyata lebih menarik konsumen usia 25-35 tahun. Kehadiran Resto and lounge yang bertebaran di Jakarta tidak berarti gulung tikarnya beberapa tempat yang benar-benar dirancang bagi yang hobi melantai diiringi musik seorang DJ atau Disc Jockey (www.bintang.com)

Jumlah tempat hiburan malam terus bertambah. Kejenuhan pasar membuat tawaran konsep harus berbeda dengan yang telah beroperasi. HL adalah salah satu tempat clubbing favorit clubbers di Jakarta, pada malam-malam clubbers khususnya ketika discotime dimulai pada jam 11 malam tenpat ini selalu ramai. Para pebisnis entertaiment ini sangat pintar untuk menarik perhatian para clubbers dengan memberikan fasilitas-fasilitas yang beragam yang menjadi trend setter bagi kalangan night society, misalnya dengan membebaskan para wanita biaya cover charge dan membiarkan mereka clubbing sepenuhnya agar kaum wanita yang datang membludak dan kaum pria akan terpancing untuk datang ketempat tersebut. Selain itu dengan memberikan free flow vodka and champagne for ladies all night (memberikan minum vodka dan champgne untuk wanita sepanjang malam), bahkan yang lebih berani adalah menjual program yang berbau sexy, seksual yang menjadi fokus utama (www.popular.maj.com).
Adat dan tradisi masa lalu benar-benar tergeser dengan adanya perkembangan dunia yang semakin pesat. Dengan kecanggihan pengetahuan dan teknologi industrialisme. Bangsa barat berhasil merangsak bangsa-bangsa timur (terutama yang berbaris Islam) dengan produk-produknya yang ditumpangi oleh warna-warna budaya barat yang sangat kontras dengan moralitas dan religiusitas bangsa timur. Misalnya dengan adanya trend fashion yang pamer aurat, dentum musik yang merangsang kelalaian hati terhadap Allah, ajang pergaulan bebas yang memanjakan syahwat setan hingga sarana-sarana teknologis yang membutuhkan solidaritas sosial. Semua produk yang dipromosikan secara massal tersebut sebenarnya merupakan bentuk baru penjajahan neo-kolonisme. Ironisnya, kebanyakan dari kita terutama kaum clubbing sama sekali tidak menyadari ancaman-ancaman moralitas dan martabat dari invasi tersebut, justru memantapkan diri sebagai bagian penyembah dan budak dari penjajahan kapitalisme tersebut yang sesuai dengan ideologi mereka just having fun.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa clubbing merupakan suatu kegiatan untuk datang dan menikmati suasana, suguhan hiburan, makanan dan minuman di tempat-tempat hiburan malam yang bernuansa kebebasan, ekspresif, modern, teknologis, hedonis, konsumeristik dan metropolis yang menjanjikan segala bentuk kegembiraan sesaat.

Mayoritas para clubbers adalah para generasi muda yang memiliki status sosio-ekonomi yang cukup baik. Ini terlihat dari kebutuhan-kebutuhan material yang menopang aktivitas clubbing yang jelas membutuhkan dana ekstra. Mulai dari pemilihan pakaian yang bermerek, properti, kendaraan, hingga perangkat clubbing itu sendiri (Perdana.2004).
Selain itu menurut Susanto (2001), konsumen atau para pelaku clubbing itu tidak hanya para generasi muda yang notabennya sebagai pelajar dan mahasiswa, tetapi para eksekutif muda, pengusaha-pengusaha sukses, bahkan ibu rumah tangga ada juga yang menjadi para pelaku clubbing.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa para pelaku clubbing itu mayoritas berasal dari para generasi muda, para eksekutif muda, pengusaha-pengusaha sukses dan ibu rumah tangga pun juga ada yang melakukan clubbing.

Kaum clubbers secara logis dalam konteks ini adalah kaum plagiator yang mengimpor secara mentah-mentah gaya hidup dunia barat kedalam kehidupan sosial mereka. Di kalangan para clubbers, ada tiga narasi yang selalu melandasi cara pandang dan perilakunya, yakni gaul, funcy, dan happy dimana kesemuanya berlabuh pada satu narasi besar (grand naration) yakni gensi. Tidak jelas siapa yang mulai melontarkan dan mempopulerkan istilah tersebut, disini Perdana (2004) dalam bukunya yang berjudul “Dugem : ekspresi cinta, seks, dan jati diri” menjelaskan wujud ekspresi dari ketiga narasi tersebut. Hal tersebut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi generasi muda melakukan clubbing. Adapun faktor-faktornya adalah :
a. “Gaul”, istilah “gaul” berasal dari kata baku “bergaul” atau “pergaulan” yaitu sebuah sistem sosial yang terbentuk melalui interaksi, komunikasi dan kontak sosial yang melibatkan lebih dari satu orang. Akan tetapi dalam komunitas clubbing, istilah “gaul” bukan lagi menjadi “media sosialisasi” untuk melengkapi fitrah kemanusiaannya, melainkan kebanyakan telah menjadi “ajang pelampiasan hawa nafsu”. Kebanyakan bentuk “gaul” ini justru menjadi pintu gerbang bagi lahirnya generasi-generasi penganut seks bebas, pecandu narkoba, hingga pelacuran dan penjahat sosial.
b. Funcy, istilah funcy secara aksiologis tanpa memperdebatkan wacana epitemologisnya, istilah funcy selalu berlekatan dengan istilah “gaul”. Pemaknaan funcy selalu dipertautkan dengan bentuk-bentuk eksperimentasi yang tanpa landasan argumentasi yang jelas, sekedar mencari sensasi dan pelampiasan emosi-emosi jiwa yang tidak terkendali. Ini bisa dilihat dari hasil eksperimentasi mereka dalam hal kostum, kendaraan, fisik dan gaya hidup.
c. Happy, istilah happy berasal dari bahasa inggris yang berarti bahagia, selalu bahagia. Dengan “bergaul”, berinteraksi dan membaur dalam warna komunitas “bergaul”nya, kaum remaja merasa menemukan jati diri yang tepat dengan selera dan jiwa mudanya daripada apa yang didapatkan dari lingkungan keluarga. Mereka merasa menemukan kebahagiaan sejati disini yaitu bebas berbuat apa saja, banyak teman, termasuk bebas menyalurkan gelora libido seksualnya. Namun kebahagiaan yang mereka dapatkan adalah kebahagiaan semu.

Clubbing merupakan salah satu gaya hidup di zaman sekarang yang merupakan hasil adopsi dari negara-negara barat. Seseorang melakukan clubbing ada kemungkinan besar karena terinspirasi akan kehidupan para selebritis, orang-orang terkenal, orang-orang yang bekerja di bidang intertainmen dalam memperoleh kesenangan. Clubbing dipandang oleh individu sebagai gaya hidup yang modern. Piliang (2006) menyatakan bahwa individu dalam mengikuti gaya hidup modern dipengaruhi oleh faktor intern dan faktor ekstern.

Faktor intern merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu berhubungan dengan minat dan dorongan seseorang untuk melakukan kegiatan yang diinginkan sesuai dengan perasaan hati. Selain itu, faktor intern individu melakukan clubbing dipengaruhi sikap. Sikap lebih cenderung berhubungan dengan kepribadian individu dalam menentukan suatu fenomena yang ditemui dalam kehidupannya (Piliang, 2006).
Dilanjutkan oleh Piliang (2006) bahwa faktor ektern merupakan faktor di luar individu yang dapat mempengaruhi sikap dan perilaku individu dalam kehidupan sehari-hari. Faktor ekstern ini dibedakan atas faktor keluarga dan faktor lingkungan sosial. Faktor lingkungan keluarga yang kurang harmonis berdampak pada anggota keluarga untuk mencari kesenangan di luar rumah dan clubbing merupakan satu pilihan untuk mencari kesenangan tersebut. Adapun faktor lingkungan sosial merupakan faktor sosial individu dalam kegiatannya sehari-hari. Individu yang memiliki sifat tidak tetap pendiriannya akan mudah terpengaruh oleh keadaan lingkungan sosial, di mana individu melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Apabila lingkungan sosial cenderunng dalam kehidupan clubbing, maka ada kemungkinan besar individu tersebut juga masuk dalam lingkungan yang menyenangi gaya hidup clubbing.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi generasi muda untuk melakukan clubbing adalah faktor intern dan ekstern. Faktor intern yang berasal dari individu berhubungan dengan minat, motivasi, dan sikap (untuk hidup funcy dan happy). Adapun faktor ekstern berasal dari lingkungan keluarga dan lingkungan sosial (berhubungan dengan pergaulan individu).


DAFTAR PUSTAKA
Hall,S.1985.Development Processes in Early education.London:Rount Ledge&Keggn Paul.

Nugraheni,P.N.A.2003. Perbedaan Kecenderungan gaya Hidup Hedonis Pada Remaja Ditinjau dari Lokasi Tempat Tinggal. Skripsi (tidak diterbitkan).

Perdana, D. 2004. Dugem:Ekspresi Cinta, Seks, dan Jati diri.Yogyakarta :Diva Press

Piliang, Y.A.2005. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Yogyakarta : Jalasutra.

Plummer,R. 1983.Life Span Development Psychology:Personality and Socialization.New York:Academic Press.

Sakinah.2002.Media Muslim Muda.Solo.Elfata.

Sarwono,S.W.1989.Psikologi Remaja.Jakarta:Raja Grafindo Persada.

Subandy,Idi. 1997.Ecstasy Gaya Hidup.Bandung : Penerbit Mizan

Susanto,A.B. 2001. Potret-Potret Gaya Hidup Metropolis.Jakarta. Penerbit Buku Kompas.

1 komentar: